Standar capaian interoperabilitas yang lebih baik dan lebih memadai, saat ini dianggap sebagai salah satu tujuan utama sekaligus tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh manajer sistem informasi di kantor pemerintahan. Interoperabilitas sendiri dapat dimaknai sebagai sistem yang mampu bertukar dan memanfaaatkan informasi yang ada secara integratif.
Sejak kehadirannya di akhir tahun 90-an, fenomena Electronic Government (e-government) terus-menerus menekan instansi pemerintahan untuk memastikan bahwa harus ada transformasi operasional pelayanan publik. Tanpa menyangkal banyaknya peningkatan pelayanan publik yang telah terjadi di banyak negara, tetapi kita pun pasti sadar bahwa masih saja ada instansi yang pelayanan “tertutup”-nya masih belum sepenuhnya hilang. Urusan birokrasi masih ada yang berbelit-belit.
Untuk memecah permasalahan yang ada, instansi pemerintahan mesti diperlakukan sebagai suatu kesatuan yang saling terhubung. Artinya, kita tidak bisa menjadikan mereka sebagai “pulau-pulau” kecil yang saling terpisah yang mengakibatkan masyarakat harus melakukan perpindahan lokasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara lama semacam itu (terpisah-pisah) sangat potensial menimbulkan kebingungan di level masyarakat sipil, akan ada terlalu banyak waktu dan biaya yang terbuang percuma.
Konsep e-government menekankan pada perihal transparansi serta akuntabilitas. Ini adalah birokrasi yang berjalan dengan memposisikan warga sebagai pusat pelayanan. Instansi telah memperoleh mandate sebagai pelayan warga. Oleh karenanya, dengan implementasi konsep ini, tingkat pelayanan terhadap warga sekaligus tingkat efisiensi dan efektivitas internal organisasi menjadi meningkat drastis.
Dengan tujuan tersebut, banyak negara di seluruh dunia yang akhirnya menyusun, mengundangkan, dan mengadopsi konsep lanjutan yang disebut Interoperability Frameworks/Keranka Interoperabilitas (IF). IF adalah sebuah dokumen maupun kumpulan dokumen yang secara spesifik mengatur tentang kebijakan, petunjuk, rekomendasi, konsep, prinsip, istilah-istilah, standar, serta praktik yang berlaku di dalam instansi yang mampu saling terhubung dan menghasilkan layanan publik yang terintegrasi. (Baca : Prinsip COBIT dalam Penyususan Masterplan)
e-GIF diluncurkan pertama kali pada bulan September tahun 2000 di Inggris oleh Menteri Ian McCartney. Sejak saat itu, banyak negara yang mengikuti langkahnya dengan merumuskan IF skala nasional. Tidak hanya karena negara-negara ini menganggap Interoperability Frameworks sebagai suatu instrumen yang signifikan untuk memfasilitasi integrasi sistem publik, melainkan juga karena faktor finansial dan tekanan politik dari banyak institusi eksternal yang meminta adanya transparansi pemerintahan.
Elemen umum yang masuk ke dalam IF biasanya mencakup masalah teknis, semantik, organisasi, hingga legal maupun politik. Banyak praktisi dan akademisi yang menganggap bahwa penyusunan dan peluncuran IF nasional dan adopsinya di banyak instansi pusat maupun di daerah akan menciptakan ekosistem yang secara otomatis bersifat interoperabilitas.
Namun, dari ragam manfaat yang bisa diperoleh sekaligus keriuhan terhadap IF, haruslah ada hal-hal yang diperhatikan pula. Terutama berkaitan dengan kompleksitas yang berkaitan dengan proses penyusunan, revisi, adopsi, serta implementasinya.
Setidaknya ada pertanyaan-pertanyaan yang mesti sudah terjawab, seperti:
- Siapa yang harus memimpin penyusunan dan revisi IF?
- Bagaimana seharusnya proses penyusunan dan revisi diarahkan?
- Seberapa sering IF direvisi?
- Apa saja hal yang akan dimasukkan ke dalam IF?
- Standar apa yang harus dimasukkan?
- Dukungan layanan apa saja yang harus disediakan?
- Siapa yang harus menyediakan layanan itu?
- Siapa yang harus mengontrol dan mengevaluasi penggunaan IF?
- Strategi yang bagaimana yang harus diadopsi supaya IF bisa berjalan?
Diatas adalah beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam implementasi electronic government interoperability frameworks.
Discussion about this post